Beranda | Artikel
Apakah Najis Membatalkan Shalat?
Jumat, 29 Maret 2013

para ulama berbeda pendapat; apakah suci dari najis termasuk syarat sah sholat atau tidak?

Madzhab Asy Syafi’iyyah berpendapat bahwa ia adalah syarat sah sholat dan ini juga pendapat Abu Hanifah dan Ahmad sebagaimana yang dikatakan oleh imam An Nawawi[1]. Mereka berdalil dengan ayat dan hadits yang telah kita sebutkan tadi, juga berdasarkan hadits :

وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّيْ

“ Apabila haidl telah pergi, maka cucilah darah darimu dan shalatlah “. (HR Bukhari dan Muslim[2]).

Adapun imam Malik maka ada tiga riwayat dari beliau:

Pertama: jika ia tahu ada najis, maka shalatnya tidak sah, dan jika tidak tahu atau lupa, maka shalatnya sah. Dan ini adalah pendapat lama imam Asy Syafi’i.

Kedua: shalatnya tidak sah, sama saja apakah ia mengetahui atau tidak, atau ia lupa.

Ketiga: Shalatnya sah disertai adanya najis, walaupun ia mengetahui dan sengaja melakukannya. Dan pendapat seperti ini juga dinukil dari ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair dan lainnya.[3] Dalilnya adalah hadist Abu Said Al Khudri radliyallahu ‘anhu ia berkata: ’’Ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam shalat mengimami para shahabatnya, tiba-tiba beliau melepaskan dua sendalnya, dan meletakkannya disamping kirinya. Tatkala para shahabat melihat itu, merekapun melepaskan sendal-sendal mereka. Setelah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam selesai dari sholatnya, beliau bersabda: “Mengapa kalian melemparkan sendal-sendal kalian?’’ Mereka menjawab: “Kami melihat engkau melemparkan sendalmu, maka kamipun melemparkannya”. Nabi bersabda:

إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا

‘’Sesungguhnya Jibril Alaihissalam datang kepadaku, dan mengabarkan bahwa pada sendal tersebut ada qodzar (kotoran)nya ‘’. (HR Abu Dawud dan lainnya[4]).

Dalam riwayat lain: “Padanya ada khobats (najis)‘’.[5]

Sisi pendalilannya adalah bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam tetap meneruskan shalatnya, kalaulah suci dari najis itu syarat, tentu beliau membatalkan shalatnya dan memulai kembali dari awal.

Namun pendapat pertama (jumhur) menyanggah hadits Abu Sa’id tadi dengan dua sanggahan :

Pertama : Bahwa yang dimaksud dengan qodzar dalam hadits tersebut adalah sesuatu yang menjijikkan seperti ingus, air liur, mani dan sebagainya.

Kedua : atau maksudnya adalah darah yang sedikit, sehingga dimaafkan.[6]

Pendapat yang rajih.

Yang rajih dari pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa suci dari najis adalah wajib, namun bukan syarat sah shalat, wallahu a’lam.

Adapun dalil dalil yang dikemukakan oleh jumhur hanyalah menunjukkan kepada hukum wajib, namun tidak menunjukkan kepada syarat, karena dalil-dalil tersebut berbentuk perintah dan perintah menunjukkan wajib, sedangkan sesuatu yang wajib tidak mengharuskan ia menjadi syarat sah suatu ibadah.

Asy Syaukani berkata: “sesuatu yang wajib tidak mengharuskan menjadi syarat (sah ibadah), karena penetapan suatu perintah sebagai syarat adalah hukum syar’iah yang harus ditegaskan oleh pemilik syari’ah sebagai syarat, atau dengan menggantungkan keabsahan suatu perbuatan dengan menggunakan alat syarat, atau dengan meniadakan keabsahan suatu perbuatan tanpa adanya perintah tersebut atau dengan meniadakan buah dari perbuatan tersebut, tidak hanya sebatas dengan perintah saja”.[7]

Adapun sanggahan pertama jumhur terhadap hadits Abu Sa’id Al khudri, telah di jawab oleh Ibnu Qayyim dalam ighatsatulahafan, beliau berkata: “penafsiran qodzar dengan sesuatu yang menjijikkan seperti ingus atau sebagainya yang suci, tidaklah benar dari beberapa sisi :

Pertama: Bahwa sesuatu yang menjijikkan tidak bisa disebut khobats.

Kedua: Bahwa yang demikian itu tidak diperintahkan untuk menggosokkannya ke tanah ketika hendak shalat, karena ia tidak membatalkan shalat.

Ketiga: Sandal tidak perlu di lepas dalam shalat bila terkena hal itu (ingus dan sebagainya yang dianggap jijik), karena ia adalah perbuatan tanpa ada keperluan, dan hukumnya paling ringan adalah makruh.

Keempat: Bahwa Ad Daroquthni meriwayatkan dalam sunannya dari riwayat ibnu Abbas, bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengabarkan bahwa padanya ada darah halamah”. Dan halam adalah kutu besar.[8]

Dan yang membantah pendapat jumhur juga adalah perkataan Al Azhari salah seorang ulama bahasa arab, beliau berkata: “Najis adalah qodzar (kotoran) yang keluar dari badan manusia”.[9] Asy Syaukani berkata: “Maka menafsirkan (qodzar) sebagai sesuatu yang menjijikkan yang tidak najis atau najis sedikit yang dimaafkan adalah tahakkum (konyol)”.[10]

Adapun sanggahan jumhur yang kedua, dapat kita jawab dengan riwayat lain yang menyebutkan dengan lafadz khobats, karena para ahli bahasa bersepakat bahwa makna akhbatsain (dua yang khobats) adalah kencing dan tinja.[11] [1] An Nawawi, Al Majmu’ Syarah al muhadzdzab 3/139.

[2] Bukhari no 228 dan Muslim 1/262 no 62 (333).

[3] Idem 3/139-140.

[4] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya 1/302 no 650 imam An Nawawi berkata dalam syarah muhadzdzab 3/140 :’’ sanadnya shahih’’. Dan juga dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam kitab Ats Tsamar Al Mustathob 1/332.

[5] Abu Dawud dalam as sunan 1/302 no 651 haddatsana Musa bin Isma’il haddatsana Abaan bin Yazid haddatsana Qotadah haddatsani Bakr bin Abdillah dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. Qultu : Sanad hadits ini shahih.

[6] Lihat syarah muhadzdzab imam Nawawi 3/140.

[7] Asy Syaukani, Nailul Author 2/139 tahqiq Ishamuddin asshobabiti.

[8] Ibnu Qayyim, ighotsatulahafan 1/155 tahqiq Majdi Fathi Sayyid.

[9] Lihat Nailul Authar 2/141 tahqiq Ishamuddin.

[10] Idem 2/141.

[11] Idem 2/142.


Artikel asli: https://cintasunnah.com/apakah-najis-membatalkan-shalat/